TUGAS PAPER
PENGINDERAAN JAUH
Oleh:
Sholeh Sholikhin
K2D008073
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011
Bab I
Pendahuluan
Negara Indonesia adalah negara yang memiliki panjang garis pantai yang terpanjang di dunia dan memiliki luas lautan yang sangat luas, hampir dua per tiga dari wilayah Indonesia adalah lautan. Bisa kita pikirkan bahwa pasti pengelolaannya juga sangat sulit karena sangat luasnya itu, maka kita memerlukan suatu teknologi yang membantu kita agar bisa untuk mengelolanya semaksimal mungkin.
Menurut Komnas Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut, potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia, diduga sebesar 6,26 juta ton per tahun, sementara produksi tahunan ikan laut Indonesia pada tahun 1997 mencapai 3,68 juta ton. Ini berarti tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia baru mencapai 58,80%. Di beberapa wilayah perairan masih terbuka peluang besar untuk pengembangan pemanfaatannya, sedangkan di beberapa wilayah lain telah mencapai kondisi padat tangkap atau overfishing. Belum tersedianya data dan informasi mengenai potensi sumberdaya perikanan wilayah Indonesia merupakan salah satu penyebabnya.
Keberadaan ikan pada suatu perairan berhubungan dengan parameter-parameter osenografi di perairan seperti suhu, salinitas, arus, dan kelimpahan fitoplankton atau sumber makanan. Informasi mengenai parameter-parameter osenografi sangat dibutuhkan untuk pengelolaan sumberdaya ikan secara optimum dan lestari. Informasi ini dapat diperoleh secara insitu (pengukuran di lapangan). Tetapi ada cara lain yang lebih efisien yaitu menggunakan teknologi penginderaan jauh, karena tidak menghabiskan biaya yang banyak, tenaga dan tidak memakan waktu yang lama untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan.
Penginderaan jauh merupakan suatu metode baru dengan menggunakan teknologi canggih, untuk membantu dalam mengumpulkan data atau informasi potensi bumi secara akurat (tepat) dengan waktu yang lebih cepat (Cut Meurah, 2004).
Meskipun masih tergolong pengetahuan yang baru, pemakaian penginderaan jauh di Indonesia cukup pesat. Pemakaian penginderaan jauh itu antara lain untuk memperoleh informasi yang tepat dari seluruh wilayah Indonesia yang luas. Informasi itu dipakai untuk berbagai keperluan seperti mendeteksi sumber daya alam, daerah banjir, kebakaran hutan, dan sebaran ikan di laut.
Bab II
Tinjuan Pustaka
2.1 Pengertian Pengindraan Jauh
Untuk beberapa ahli di bidang pengindraan jauh pengertian dari penginderaan jauh itu berbeda-beda tapi tetap berada pada satu kaidah atau dasar dan ketetapan yang sama, pengertian pengindraan jauh itu antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menurut Lillesand dan Kiefer
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang didapat dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah atau gejala yang dikaji.
2. Menurut Lindgren
Penginderaan jauh adalah bermacam-macam teknik yang dikembangkan untuk mendapat perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut khusus dalam bentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi.
3. Menurut Sabins
Penginderaan jauh adalah suatu ilmu untuk memperoleh, mengolah dan menginterpretasi citra yang telah direkam yang berasal dari interaksi antara gelombang elektromagnetik dengan suatu obyek.
4. Menurut Curran
Penginderaan jauh adalah penggunaan sensor radiasi elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat diinterpretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna.
5. Menurut Colwell
Penginderaan jauh adalah suatu pengukuran atau perolehan data pada objek di permukaan bumi dari satelit atau instrumen lain di atas jauh dari objek yang diindera.
Foto udara, citra satelit, dan citra radar adalah beberapa bentuk penginderaan jauh.
6. Menurut Campbell
Penginderaan jauh adalah ilmu untuk mendapatkan informasi,mengenai permukaan bumi seperti lahan dan air dari citra yang diperoleh dari jarak jauh.
7. Menurut Avery
Penginderaan jauh adalah upaya untuk memperoleh, mengidentifikasi dan menganalisis objek dengan sensor pada posisi pengamatan daerah kajian.
Dari beberapa batasan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Penginderaan jauh adalah upaya memperoleh informasi tentang objek dari jarak jauh dengan menggunakan alat yang disebut “sensor” (alat peraba), tanpa kontak langsung dengan objek.
2.2 Citra Pengindraan Jauh
Menurut Simonett (1983) Citra adalah gambaran rekaman suatu objek (biasanya berupa suatu gambaran pada foto) yang didapat dengan cara optik, elektro optik, optik mekanik atau elektronik atau gambaran objek yang dibuahkan oleh pantulan atau pembiasan sinar yang difokuskan dari sebuah lensa atau cermin.
Adapun arti dari citra itu sendiri adalah gambaran yang tampak dari suatu objek yang diamati sebagai hasil dari proses perekaman sensor ataupun alat pemantau lainnya.
Secara umum citra penginderaan jauh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu citra foto dan citra non foto:
2.2.1 Citra foto
Citra foto adalah citra objek yang merupakan hasil dari pemotretan kamera.
Berdasarkan spectrum elektromagnetik yang digunakan, citra foto dapat dibedakan sbb:
a. Foto ultraviolet, yaitu citra foto yang dibuat dengan menggunakan spectrum ultraviolet dengan panjang gelombang 0,1 – 0,4 mikron.
b. Foto ortokromatik, yaitu citra foto yang dibuat dengan menggunakan spektrum sinar tampak. Mulai dari warna biru sampai warna hijau dengan panjang gelombang 0,4 – 0,56 mikron.
c. Foto pankromatik, yaitu citra foto yang dibuat dengan menggunakan spectrum tampak mulai dari warna merah sampai warna ungu dengan panjang gelombang 0,4 – 0,7 mikron.
d. Foto inframerah, yaitu foto yang dibuat dengan menggunakan spectrum inframerah dengan panjang gelombang 0,7 – 30,0 mikron.
Berdasarkan sumbu kamera yang digunakan citra foto dibedakan atas:
a. Foto vertikal, yaitu citra foto yang dibuat dengan sumbu kamera tegak lurus terhadap objek di permukaan bumi.
b. Foto miring/condong, yaitu citra foto yang yang dibuat dengan menggunakan sumbu kamera yang condong dan membentuk sudut terhadap objek di permukaan bumi.
Berdasarkan jenis kamera yang digunakan, citra foto dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Foto tunggal, yaitu citra foto yang dihasilkan dari kamera tunggal
b. Foto jamak yaitu citra foto yang dibuat pada waktu yng sama dan meliput daerah yang sama pula.
Berdasarkan jenis wahana yang digunakan, citra foto dapat dibedakan atas:
a. Foto udara, yaitu citra yang alat perekam/sensornya menggunakan wahana balon udara ataupun pesawat terbang.
b. Foto satelit, perekaman sensor dengan menggunakan wahana satelit.
2.2.1 Citra non foto
Citra non foto adalah foto yang dibuat dengan menggunkan sensor non kamera. Gambarnya diperoleh dengan menggunakan penyinaran scanner. Citra non foto dapat dibedakan berdasarkan:
Spektrum gelombang elektromagnetik:
a. Citra inframerah termal, yaitu citra yang terbentuk dari penyerapan spectrum inframerah termal.
b. Citra gelombang mikro, yaitu citra yang terbentuk dari penyerapan gelombang mikro.
c. Citra radar, yaitu citra ysng dibuat dari sumber tenaga buatan.
Jenis sensor
a. Citra tunggal, yaitu citra yang dibuat melalui sensor tunggal.
b. Citra jamak, yaitu citra yang dibuat melalui sensor jamak
Jenis wahana
a. Citra dirgantara, citra yang dibuat dari wahana yang berada di atmosfer (bukan ruang angkasa).
b. Citra satelit, citra yang dibuat dari wahana yang berada di luar angkasa (antariksa).
2.2.3. Perbedaan Citra Foto dan Citra non Foto
No Variabel Pembeda Jenis Citra
Citra foto Citra non foto
1. Sensor Kamera Scanning
Kamera yang detetornya bukan film
2. Detektor Film Pita Magnetik termistor foto konduktif foto voltaik
3. Proses perekaman Fotografi kimiawi Elektronik
4. Mekanisme perekaman Serentak Parsial
5. Spektrum elektromagnetik Tampak dan perluasan Tampak dan perluasan termal serta gelombang mikro
2.2.4. Interpretasi Citra
Menurut Simonett (1975) Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut.
Dalam menginterpretasikan citra dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu:
Deteksi ialah pengenalan objek yang mempunyai karakteristik tertentu oleh sensor.
Identifikasi ialah mencirikan objek dengan menggunakan data rujukan.
Analisis ialah mengumpulkan keterangan lebih lanjut secara terinci.
Setelah melalui tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan digunakan ke dalam berbagai kepentingan seperti dalam: geografi, geologi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Pada dasarnya kegiatan interpretasi citra terdiri dari 2 proses, yaitu melalui pengenalan objek melalui proses deteksi dan penilaian atas fungsi objek.
1. Pengenalan Objek Melalui Proses Deteksi
a. Deteksi yaitu pennyadapan / pengamatan data secara selektif atas obyek pada citra.
Pengenalan objek melalui proses deteksi yaitu pengamatan atas adanya suatu objek, berarti penentuan ada atau tidaknya sesuatu pada citra atau upaya untuk mengetahui benda dan gejala di sekitar kita dengan menggunakan alat pengindera (sensor).
Untuk mendeteksi benda dan gejala di sekitar kita, penginderaannya tidak dilakukan secara langsung atas benda, melainkan dengan mengkaji hasil rekaman dari foto udara atau satelit.
b. Identifikasi yaitu pengejaan ciri-ciri suatu obyek yang tergambar pada citra / foto udara.
Ada 3 (tiga) ciri utama benda yang tergambar pada citra berdasarkan ciri yang terekam oleh sensor yaitu sebagai berikut:
• Spektoral ialah ciri yang dihasilkan oleh interaksi antara tenaga elektromagnetik dan benda yang dinyatakan dengan rona dan warna.
• Spatial ialah ciri yang terkait dengan ruang yang meliputi bentuk, ukuran, bayangan, pola, tekstur, situs, dan asosiasi.
• Temporal ialah ciri yang terkait dengan umur benda atau saat perekaman.
2. Penilaian atas fungsi objek
Penilaian atas fungsi objek dan kaitan antar objek dengan cara menginterpretasi dan menganalisis citra yang hasilnya berupa klasifikasi yang menuju ke arah teorisasi dan akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari penilaian tersebut. Pada tahapan ini, interpretasi dilakukan oleh seorang yang sangat ahli pada bidangnya, karena hasilnya sangat tergantung pada kemampuan penafsir citra.
2.2.5. Unsur Interpretasi Citra
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengamati kenampakan objek dalam foto udara, yaitu:
Rona dan Warna
Rona atau tone adalah tingkat kecerahan atau kegelapan suatu objek yang terdapat pada foto udara atau pada citra lainnya.
Bentuk
Bentuk-bentuk atau gambar yang terdapat pada foto udara merupakan konfigurasi atau kerangka suatu objek.
Ukuran
Ukuran merupakan ciri objek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi lereng dan volume.
Tekstur
Tekstur adalah frekwensi perubahan rona pada citra atau pengulangan pada rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual.
Pola
Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek bentukan manusia dan bagi beberapa objek alamiah.
Bayangan
Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau objek yang berada di daerah gelap.
Konvergensi Bukti
Konvergensi bukti ialah penggunaan beberapa unsur interpretasi citra sehingga lingkupnya menjadi semakin menyempit ke arah satu kesimpulan tertentu.
Situs
Situs adalah letak suatu objek terhadap objek lain di sekitarnya
Asosiasi
Asosiasi adalah keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang lain.
2.3 Alat – alat dalam Pengindraan Jauh
Untuk melakukan penginderaan jarak jauh diperlukan alat sensor, alat pengolah data dan alat-alat lainnya sebagai pendukung. Oleh karena sensor tidak ditempatkan pada objek, maka perlu adanya wahana atau alat sebagai tempat untuk meletakkan sensor. Wahana tersebut dapat berupa balon udara, pesawat terbang, satelit atau wahana lainnya Antara sensor, wahana, dan citra diharapkan selalu berkaitan, karena hal itu akan menentukan skala citra yang dihasilkan.
Semakin tinggi letak sensor maka daerah yang terdeteksi atau yang dapat diterima oleh sensor semakin luas. Jadi jangkauan penginderaannya semakin luas.
Keterangan:
I. Satelit dengan orbit 200 - 36.000 km;
II. Pesawat yang terbang rendah (> 15 km);
III. Pesawat yang terbang rendah (9 – 15 km);
IV. Pesawat yang terbang rendah (< 9 km).
Perlengkapan yang diperlukan dalam penginderaan jauh antara lain:
Sumber energi, terdiri dari sumber energi alamiah (matahari) dan sumber energi buatan.
Sensor atau alat pengindera, terdiri dari sensor fotografi (kamera) dan sensor elektronik.
Wahana atau kendaraan yang digunakan, yaitu pesawat udara atau satelit maupun radar.
Alat sensor dalam penginderaan jauh dapat menerima informasi dalam berbagai bentuk antara lain sinar atau cahaya, gelombang bunyi dan daya elektromagnetik. Alat sensor digunakan untuk melacak, mendeteksi, dan merekam suatu objek dalam daerah jangkauan tertentu. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kemampuan sensor untuk merekam gambar terkecil disebut resolusi spasial. Semakin kecil objek yang dapat direkam oleh sensor semakin baik sensor dan semakin baik resolusi spasial pada citra.
Berdasarkan proses perekamannya sensor dapat dibedakan atas:
1. Sensor Fotografi
Proses perekamannya berlangsung seperti pada kamera foto biasa, atau yang kita kenal yaitu melalui proses kimiawi. Tenaga elektromagnetik yang diterima kemudian direkam pada emulsi film dan setelah diproses akan menghasilkan foto. Ini berarti, di samping sebagai tenaga, film juga berfungsi sebagai perekam, yang hasil akhirnya berupa foto udara, jika perekamannya dilakukan dari udara, baik melalui pesawat udara atau wahana lainnya. Tapi jika perekamannya dilakukan dari antariksa maka hasil akhirnya disebut foto satelit atau foto orbital.
Menurut Lillesand dan Kiefer, ada beberapa keuntungan menggunakan sensor fotografi, yaitu:
a. Caranya sederhana seperti proses pemotretan biasa.
b. Biayanya tidak terlalu mahal.
c. Resolusi spasialnya baik.
2. Sensor Elektronik
Sensor elekronik berupa alat yang bekerja secara elektrik dengan pemrosesan menggunakan komputer. Hasil akhirnya berupa data visual atau data digital/numerik. Proses perekamannya untuk menghasilkan citra dilakukan dengan memotret data visual dari layar atau dengan menggunakan film perekam khusus. Hasil akhirnya berupa foto dengan film sebagai alat perekamannya dan tidak disebut foto udara tetapi citra. Agar informasi-informasi dalam berbagai bentuk tadi dapat diterima oleh sensor, maka harus ada tenaga yang membawanya antara lain matahari.
Informasi yang diterima oleh sensor dapat berupa:
1. Distribusi daya (forse).
2. Distribusi gelombang bunyi.
3. Distribusi tenaga elektromagnetik.
Informasi tersebut berupa data tentang objek yang diindera dan dikenali dari hasil rekaman berdasarkan karakteristiknya dalam bentuk cahaya, gelombang bunyi, dan tenaga elektromagnetik.
Informasi tersebut merupakan hasil interaksi antara tenaga dan objek. Interaksi antara tenaga dan objek direkam oleh sensor, yang berupa alat-alat sebagai berikut:
• Gravimeter : mengumpulkan data yang berupa variasi daya magnet.
• Magnetometer : mengumpulkan data yang berupa variasi daya magnet.
• Sonar : mengumpulkan data tentang distribusi gelombang dalam air.
• Mikrofon : mengumpulkan/menangkap gelombang bunyi di udara.
• Kamera : mengumpulkan data variasi distribusi tenaga elektromagnetik
yang berupa sinar.
Seperti telah disebutkan bahwa salah satu tenaga yang dimanfaatkan dalam penginderaan jauh antara lain berasal dari matahari dalam bentuk tenaga elektromagnetik. Matahari merupakan sumber utama tenaga elektromagnetik ini. Di samping matahari sebagai sumber tenaga alamiah, ada juga sumber tenaga lain, yakni sumber tenaga buatan.
2.4 .Sumber Energi Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh dengan menggunakan tenaga matahari dinamakan penginderaan jauh sistem pasif. Penginderaan jauh sistem pasif menggunakan pancaran cahaya, hanya dapat beroperasi pada siang hari saat cuaca cerah. Penginderaan jauh sistem pasif yang menggunakan tenaga pancaran tenaga thermal, dapat beroperasi pada siang maupun malam hari. Citra mudah pengenalannya pada saat perbedaan suhu antara tiap objek cukup besar. Kelemahan penginderaan jauh sistem ini adalah resolusi spasialnya semakin kasar karena panjang gelombangnya semakin besar.
Penginderaan jauh dengan menggunakan sumber tenaga buatan disebut penginderaan jauh sistem aktif. Penginderaan sistem aktif sengaja dibuat dan dipancarkan dari sensor yang kemudian dipantulkan kembali ke sensor tersebut untuk direkam. Pada umumnya sistem ini menggunakan gelombang mikro, tapi dapat juga menggunakan spektrum tampak, dengan sumber tenaga buatan berupa laser.
Tenaga elektromagnetik pada penginderaan jauh sistem pasif dan sistem aktif untuk sampai di alat sensor dipengaruhi oleh atmosfer. Atmosfer mempengaruhi tenaga elektromagnetik yaitu bersifat selektif terhadap panjang gelombang, karena itu timbul istilah “Jendela atmosfer”, yaitu bagian spektrum elektromagnetik yang dapat mencapai bumi. Adapun jendela atmosfer yang sering digunakan dalam penginderaan jauh ialah spektrum tampak yang memiliki panjang gelombang 0,4 mikrometer hingga 0,7 mikrometer.
2.5 Perkembangan Pengindraan Jauh
Pada awalnya penginderaan jauh kurang dipandang lambat laun disadari bahwa penginderaan jauh merupakan alat yang mampu memberikan synoptic overview (pandangan secara ringkas namun menyeluruh) atas suatu wilayah sebagai titik tolak kajian lebih lanjut. Penginderaan jauh juga mampu menghasilkan berbagai macam informasi keruangan dalam konteks ekologis dan kewilayahan yang menjadi ciri kajian geografis.
Dari segi metode yang digunakan, dikenal metode penginderaan jauh manual atau visual dan metode penginderaan jauh digital. Penginderaan jauh manual memanfaatkan citra tercetak atau ‘hardcopy’ (foto udara, citra hasil pemindaian skaner di pesawat udara maupun satelit) melalui analisis dan interpretasi secara manual/visual. Penginderaan jauh digital menggunakan citra dalam format digital dan menganalisisnya dengan bantuan komputer.
Berdasarkan hasil penelitian para ahli penginderaan jauh selama ini serta adanya kebutuhan bagi pembangunan nasional, maka pemerintah telah memutuskan untuk membangun suatu sistem Stasiun Bumi Satelit Penginderaan Jauh yang pelaksanaannya dipercayakan kepada LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Sistem yang dibangun disesuaikan dengan perkembangan saat ini, yaitu dapat menerima dan mengolah data dari berbagai satelit yang diorbitkan dari bumi. Melalui pendidikan yang modern, para ahli diharapkan mampu mengolah (menginterpretasi, mengoreksi, dan menyajikan) data dari satelit agar dapat digunakanuntuk membantu pembangunan.
Beberapa satelit yang diluncurkan dari bumi oleh beberapa negara maju antara lain:
• LANDSAT milik Amerika Serikat
• SPOT milik Perancis
• ERSI (Earth Resources Satellite) milik Badan Antariksa Eropa (ESA).
Banyak kegunaan hasil pemotretan bumi dari satelit merupakan perkembangan dari pengukuran permukaan bumi dengan alat ukur tanah yang dikembangkan dengan foto udara dan kemudian dengan satelit.
Perkembangan cepat teknologi penginderaan jauh (remote sensing) menjadikannya sebagai metodologi survey mutakhir yang secara kontinyu dapat dimanfaatkan untuk menyajikan kondisi laut dengan akurat secara ruang dan waktu. Saat ini banyak citra penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk aplikasi kelautan terutama lapisan permukaan laut, diantaranya ialah NOAA- AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration - Advanced Very High Resolution Radiometer) dan Aqua MODIS (Aqua - Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer).
Stasiun bumi NOAA menerima data AVHRR dari satelit dalam bentuk data mentah yang dikenal dengan data HRPT (High Resolution Picture Transmission) secara rutin 2 – 4 kali/hari. Oleh karena itu, siklus harian NOAA cukup baik untuk mengamati perubahan yang terjadi di laut dengan resolusi spasial yang terbatas mencapai 1,1 km. Cakupan citranya cukup luas dengan lebar pandang mencapai 2399 km pada setiap citra global yang dihasilkan.
Data MODIS memiliki resolusi temporal 1-2 hari dan data dapat diperoleh melalui download dalam format data HDF (Hierarchical Data Format). Resolusi spasial dari 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7), dan 1 km (band 8-36) dengan cakupan citra mencapai 2330 km.
Saluran-saluran radiasi inframerah termal dari NOAA-AVHRR dan Aqua MODIS, berfungsi untuk mendeteksi radiasi termal yang dipancarkan oleh permukaan bumi. Berdasarkan hubungan antara suhu dengan intensitas emisi maka data AVHRR dan MODIS dapat dimanfaatkan untuk mengukur suhu permukaan laut.
Suhu permukaan laut merupakan parameter yang berkaitan dengan berbagai fenomena laut, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah upwelling, front, arus laut, arus eddie, daerah konsentrasi ikan dan kemungkinan kandungan mineral. Selain itu, data suhu permukaan laut amat penting untuk mengetahui keseimbangan laut dan atmosfer dari waktu ke waktu.
Hasil teknologi penginderaan jauh, antara lain:
1. Data penginderaan jauh dapat berupa data digital atau data numerik untuk dianalisis dengan menggunakan komputer.
2. Selain itu, dapat berupa data visual yang pada umumnya dianalisis secara manual.
3. Data visual dibedakan lagi menjadi data citra dan noncitra.
4. Data citra merupakan gambaran planimetrik. Data noncitra ialah grafik yang mencerminkan beda suku yang direkam di sepanjang daerah penginderaan
5. Di dalam penginderaan jauh yang tidak menggunakan tenaga elektromagnetik.
2.6 Manfaat Pengindraan Jauh
Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah untuk mengumpulkan data seumber daya alam dan lingkungan. Penginderaan jauh makin banyak dimanfaatkan karena berbagai macam alasan sebagai berikut :
• Citra dapat dibuat secara cepat meskipun pada daerah yang sulit ditempuh melalui daratan.
• Citra menggambarkan obyek dipermukaan bumi dengan wujud dan letak objek mirip dengan sebenarnya, gambar relatif lengkap, liputan daerah yang luas dan sifat gambar yang permanen.
• Citra tertentu dapat memberikan gambar tiga dimensi jika dilihat dengan menggunakan stereoskop.
• Citra dapat menggambarkan benda yang tidak tampak sehingga dimungkinkan pengenalan obyeknya.
• Citra sebagai satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana.
2.6.1 Manfaat penginderaan jauh bidang kehutanan
Bidang kehutanan berkenaan dengan pengelolaan hutan untuk kayu termasuk perencanaan pengambilan hasil kayu, pemantauan penebangan dan penghutanan kembali, pengelolaan dan pencacahan margasatwa, inventarisasi dan pemantauan sumber daya hutan, rekreasi, dan pengawasan kebakaran. Kondisi fisik hutan sangat rentan terhadap bahaya kebakaran maka penggunaan citra inframerah akan sangat membantu dalam penyediaan data dan informasi dalam rangka monitoring perubahan temperatur secara kontinu dengan aspek geografis yang cukup memadai sehingga implementasi di lapangan dapat dilakukan dengan sangat mudah dan cepat.
2.6.2 Manfaat pengindraan jauh di bidang penggunaan lahan
Inventarisasi penggunaan lahan penting dilakukan untuk mengetahui apakah pemetaan lahan yang dilakukan oleh aktivitas manusia sesuai dengan potensi ataupun daya dukungnya. Penggunaan lahan yang sesuai memperoleh hasil yang baik, tetapi lambat laun hasil yang diperoleh akan menurun sejalan dengan menurunnya potensi dan daya dukung lahan tersebut. Integrasi teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu bentuk yang potensial dalam penyusunan arahan fungsi penggunaan lahan. Dasar penggunaan lahan dapat dikembangkan untuk berbagai kepentingan penelitian, perencanaan, dan pengembangan wilayah. Contohnya penggunaan lahan untuk usaha pertanian atau budidaya permukiman.
2.6.3 Manfaat pengindraan jauh di bidang pembuatan peta
Peta citra merupakan citra yang telah bereferensi geografis sehingga dapat dianggap sebagai peta. Informasi spasial yang disajikan dalam peta citra merupakan data raster yang bersumber dari hasil perekaman citra satelit sumber alam secara kontinu. Peta citra memberikan semua informasi yang terekam pada bumi tanpa adanya generalisasi. Peranan peta citra (space map) dimasa mendatang akan menjadi penting sebagai upaya untuk mempercepat ketersediaan dan penentuan kebutuhan peta dasar yang memang belum dapat meliput seluruh wilayah nasional pada skala global dengan informasi terbaru (up to date). Peta citra mempunyai keunggulan informasi terhadap peta biasa. Hal ini disebabkan karena citra merupakan gambaran nyata di permukaan bumi, sedangkan peta biasa dibuat berdasarkan generalisasi dan seleksi bentang alam ataupun buatan manusia. Contohnya peta dasar dan peta tanah.
2.6.4 Manfaat pengindraan jauh di bidang penggunaan lahan meteorologi (Meteosat, Tiros, dan NOAA)
a. Mengamati iklim suatu daerah melalui pengamatan tingkat perawanan dan kandungan air dalam udara.
b. Membantu analisis cuaca dan peramalan/prediksi dengan cara menentukan daerah tekanan tinggi dan tekanan rendah serta daerah hujan badai dan siklon.
c. Mengamati sistem/pola angin permukaan.
d. Melakukan pemodelan meteorologi dan set data klimatologi.
2.6.5 Manfaat penginderaan jauh di bidang kelautan
a. Mengamati sifat fisis laut, seperti suhu permukaan, arus permukaan, dan salinitas sinar tampak (0-200 m).
b. Mengamati pasang surut dan gelombang laut (tinggi, arah, dan frekwensi).
c. Mencari lokasi upwelling, singking dan distribusi suhu permukaan.
d. Melakukan studi perubahan pantai, erosi, dan sedimentasi (LANDSAT dan SPOT).
2.6.7 Manfaat penginderaan jauh di bidang hidrologi
a. Pemantauan daerah aliran sungai dan konservasi sungai.
b. Pemetaan sungai dan studi sedimentasi sungai.
c. Pemantauan luas daerah intensitas banjir.
2.6.8 Manfaat penginderaan jauh di bidang geofisika, geologi, dan geodesi
a. Melakukan pemetaan permukaan, di samping pemotretan dengan pesawat terbang dan menggunakan aplikasi GIS.
b. Menentukan struktur geologi dan macam batuan.
c. Melakukan pemantauan daerah bencana (kebakaran), pemantauan aktivitas gunung berapi, dan pemantauan persebaran debu vulkanik.
d. Melakukan pemantauan distribusi sumber daya alam, seperti hutan (lokasi, macam, kepadatan, dan perusakan), bahan tambang (uranium, emas, minyak bumi, dan batu bara).
e. Melakukan pemantauan pencemaran laut dan lapisan minyak di laut. f. Melakukan pemantauan pencemaran udara dan pencemaran laut.
Inderaja memiliki peran yang sangat besar dalam sistem informasi data dan pengelolaannya. Peran tersebut antara lain untuk mendeteksi perubahan data dan pengembangan model di berbagai kepentingan.
2.7 Gambar Pengindraan Jauh
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
1. Penginderaan jauh adalah upaya memperoleh informasi tentang objek dari jarak jauh dengan menggunakan alat yang disebut “sensor” (alat peraba), tanpa kontak langsung dengan objek.
2. Citra adalah gambaran rekaman suatu objek (biasanya berupa suatu gambaran pada foto) yang didapat dengan cara optik, elektro optik, optik mekanik atau elektronik atau gambaran objek yang dibuahkan oleh pantulan atau pembiasan sinar yang difokuskan dari sebuah lensa atau cermin.
3. Secara umum citra penginderaan jauh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu citra foto dan citra non foto
- Citra foto adalah citra objek yang merupakan hasil dari pemotretan kamera.
- Citra non foto adalah foto yang dibuat dengan menggunkan sensor non kamera. Gambarnya diperoleh dengan menggunakan penyinaran scanner
4. Perbedaan Citra Foto dan Citra non Foto
No Variabel Pembeda Jenis Citra
Citra foto Citra non foto
1. Sensor Kamera Scanning
Kamera yang detetornya bukan film
2. Detektor Film Pita Magnetik termistor foto konduktif foto voltaik
3. Proses perekaman Fotografi kimiawi Elektronik
4. Mekanisme perekaman Serentak Parsial
5. Spektrum elektromagnetik Tampak dan perluasan Tampak dan perluasan termal serta gelombang mikro
5. Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut.
6. Dalam menginterpretasikan citra dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu:
Deteksi
Identifikasi
Analisis
7. Unsur Interpretasi Citra
Rona dan Warna
Bentuk
Ukuran
Tekstur
Pola
Bayangan
Konvergensi Bukti
Situs
Asosiasi
8. Perlengkapan yang diperlukan dalam penginderaan jauh antara lain:
Sumber energi, terdiri dari sumber energi alamiah (matahari) dan sumber energi buatan.
Sensor atau alat pengindera, terdiri dari sensor fotografi (kamera) dan sensor elektronik.
Wahana atau kendaraan yang digunakan, yaitu pesawat udara atau satelit maupun radar.
9. Penginderaan jauh dengan menggunakan tenaga matahari dinamakan penginderaan jauh sistem pasif.
10. Penginderaan jauh dengan menggunakan sumber tenaga buatan disebut penginderaan jauh sistem aktif.
11. Beberapa satelit yang diluncurkan dari bumi oleh beberapa negara maju antara lain:
• LANDSAT milik Amerika Serikat
• SPOT milik Perancis
• ERSI (Earth Resources Satellite) milik Badan Antariksa Eropa (ESA).
12. Beberapa manfaat pngindraan jauh adalah pada bidang:
Manfaat penginderaan jauh bidang kehutanan
Manfaat pengindraan jauh di bidang penggunaan lahan
Manfaat pengindraan jauh di bidang pembuatan peta
Manfaat pengindraan jauh di bidang penggunaan lahan meteorologi
(Meteosat, Tiros, dan NOAA)
Manfaat penginderaan jauh di bidang kelautan
Manfaat penginderaan jauh di bidang hidrologi
Manfaat penginderaan jauh di bidang geofisika, geologi, dan geodesi
Daftar Pustaka
Sutanto, prof., Penginderaan jauh, Jilid I, Fakultas Geografi, Gajah Mada University Press, 1998.
http://inderaja.blogspot.com/2007/11/pengertian-penginderaan-jauh-menurut_17.html
http://stevengeoholic.blog.com/2009/05/17/penginderaan-jauh/
http://andimanwno.wordpress.com/2009/09/09/manfaat-penginderaan-jauh/
http://mulyanto-12.blogspot.com/2007/12/penginderaan-jauh.html
http://arkanganas.blogspot.com/2009/12/pengertian-penginderaan-jauh.html
http://link-geo.blogspot.com/2009/08/citra-penginderaan-jauh.html

Minggu, 01 Mei 2011
Rabu, 20 April 2011
BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ditinjau dari struktur kimia, pestisida sangat bervariasi. Insektisida terdiri dari empat golongan utama yaitu golongan organoklorin, organofosfat, karbamat dan peretroid. Pestisida merupakan bahan kimia yang umum digunakan pada aktivitas pertanian untuk mengendalikan hama/serangga pengganggu tanaman. Penggunaan pestisida di Indonesia meningkat sangat cepat karena adanya ekspansi daerah pertanian untuk tanaman pangan dan sayuran. Salah satu jenis insektisida yang umum digunakan di Indonesia adalah golongan organoklorin (Tarumingkeng, 1992).
Organoklorin merupakan jenis insektisida yang umum digunakan di Indonesia sejak awal tahun 1950 untuk mengendalikan hama/serangga pada pertanian. Sejak akhir 1990, semua jenis insektisida organoklorin sudah dilarang penggunaannya di Indonesia karena sifatnya yang toksik, bioakumulatif, dan persisten di lingkungan. Namun karena harganya yang murah, mudah digunakan, dan efektif membasmi hama, beberapa jenis insektisida organoklorin masih digunakan di Indonesia. BUTTLER (1966) melaporkan bahwa DDT dalam 10 hari dapat mencapai kadar sebesar 25.000 kali lebih tinggi dalam tubuh biota dibandingkan kadarnya dalamair laut. Selainitupembesaran secarabiologi ini juga tergantung dari temperatur. lamanya waktu pemaparan dalam tubuh organisme, pembesaran secara biologi ini dapat mencapai 70.000 kali lebih besar.
Organoklorin dikelompokkan menjadi 3, yaitu : diklorodifenil etan (contoh : DDT, DDD, portan, metosiklor, dan metioklor), siklodin (contoh : aldrin, dieldrin, heptaklor, klordan, dan endosulfan), dan sikloheksan benzene terklorinasi (contoh : HCB, HCH, dan lindan). Organoklorin merupakan pencemar utama dalam golongan Persistent Organic Pollutant yang sedang dipermasalahkan di dunia akibat sifatnya yang toksik kronis, persisten dan bioakumulatif (Zhou et al., 2006). Dalam jangka waktu 40 tahun, organoklorin masih ditemukan di lingkungan dan biota, dan terdistribusi secara global bahkan ke daerah terpencil di mana organoklorin tidak pernah digunakan (Sudaryanto et al., 2007). Sejak akhir 1990, semua jenis insektisida organoklorin sudah dilarang penggunaannya di Indonesia. Namun karena harganya yang murah, mudah digunakan, dan efektif membasmi hama, maka beberapa jenis organoklorin seperti DDT masih digunakan di Indonesia, selain karena kurangnya ketegasan peraturan dan hukum yang berlaku (Sudaryanto et al., 2007).
Pestisida dan produk metabolismenya menjadi ancamam bagi lingkungan karena karakteristik ketetaptinggalan yang tinggi (persistent) dan kesehatan manusia terkait toksisitas, keterakumulasian (bioaccumulation) dan peningkatan konsentrasi seiring kenaikan tingkatan rantai makanan (biomagnifications).
Perumusan Masalah
Secara teknis perkembangan bioremediasi pestisida juga terkendala dengan kurang efektifnya agent biologis mendegradasi pestisida sebagai akibat dari ketersediaan biologis (bioavaibility) pestisida didalam tanah terbatas sehingga membatasi keberhasilan mikroba melakukan kontak dan mengurai pestisida target. Guna memperbaiki performa bioremediasi pestisida, keberhasilan proses yang berlangsung dapat tergantung pada :
1. ketersediaan mikroorganisme agen bioremediasi,
2. kondisi optimal bagi pertumbuhan dan aktifitas agen mikroba.dan
3. Peningkatan bioavaibilitas pestisida di tanah.
Jenis jenis mikroorganisme yang sudah banyak diidentifikasi sebagai agent bioremediasi pestisida adalah Phanerochaete, Nocardia, Pseudomonas, Alcaligenes, Acinetobacter, dan Burkholderia. Dalam riset riset bioremediasi pestisida Phanerochaete chrysosporium dikenal mampu mendegradasi ragam pestisida seperti DDT, DDE, PCP, Chlordane, Lindane, Aldrine, Dieldrine dan lain sebagainya.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Pencemaran Laut
Belakangan kita sering membaca kejadian pencemaran laut. Berbagai pihak mengeluhkan salah satu ancaman terhadap lingkungan ini. Beberapa menyalahkan industri besar yang kurang peduli, lainnya menyebutkan hanya kesalahan prosedur, lainnya beranggapan semua punya potensi untuk mencemari laut. Berikut lebih jauh dibahas tentang seluk beluk pencemaran laut.
Pencemaran laut didefinisikan sebagai peristiwa masuknya partikel kimia, limbah industri, pertanian dan perumahan, kebisingan, atau penyebaran organisme invasif (asing) ke dalam laut, yang berpotensi memberi efek berbahaya. Kemudian ada definisi pencemaran yaitu, Pencemaran atau polusi didefenisikan sebagai masuknya zat-zat atau energi ke dalam lingkungan laut baik langsung maupun tidak langsung akibat adanya kegiatan manusia. Hal ini dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut, terutama kehidupan di laut, kesehatan manusia, mengganggu aktivitas di laut (usaha penangkapan, budidaya, jalur pelayaran, dan sebagainya), dan secara visual mereduksi keindahan laut (GESAMP dalam Sanusi, 1995).
Pencemaran Organoklorin di Laut
Pestisida Organoklorin atau biasa disebut juga sebagai hidrokarbon berklorin, merupakan jenis pestisida yang tidak mudah larut dalam air, namun mudah larut dalam minyak. Pestisida organoklorin merupakan jenis pestisida yang tidak mudah terurai di alam setelah digunakan, penggunaan pestisida organoklorin telah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1971 karena sifatnya yang persisten sehingga akan dapat menimbulkan dampak negative yang besar tehadap lingkungan dan mahluk hidup sekitarnya.
Contoh pestisida organoklorin yang sering digunakan dalam kehidupan;
• Aldrin
• Dieldrin dicofol
• Endosulfan
• Endrin chlordane
• DDT
• Heptaklor
• Lindane
• Benzane hexacloride (BHC)
Contoh di atas dapat digolongkan sebagai senyawa aktif yang terkandung pada jenis-jenis pestisida organoklorin dengan toksisitas yang berbeda. Sedangkan sifat umumnya adalah kelarutan rendah dalam air, lipofilitas tinggi, persisten dalam lingkungan alamiah, terbioakumulasi dalam makhluk hidup dan terbiomagnifikasi melalui rantai makanan.
Bahan Pencemar Senyawa Organoklorin Jenis DDT
DDT (1,1,1- Tricloro-2,2-bis(clhorophenil)etane) merupakan insektisida sintetis khususnya dibidang pertanian. Sifatnya yang sangat berbahaya di lingkungan dan tahan lama di alam, maka senyawa ini di larang penggunaaannya. Tetapi penggunaannya masih terbatas hanya sebagai obat untuk nyamuk malaria diberbagai negara. DDT dapat mencapai ekosistem pesisir laut melalai berbagai rute seperti penggunaan secara langsung di permukaan air, kemudian secara tidak langsung melalui proses deposisi udara dari proses penguapan atau penguapan yang sudah mengendap di tanah, tanaman dan permukaan air, (Preston 1989). Disamping itu sifat - sifat fisika dan kimia seperti daya larut yang rendah dalam air menyebabkan senyawa DDT mudah terikat dalam sedimen dasar dan terakumulasi dalam jaringan organisme.
Transportasi materi merupakan faktor penting keberadaan DDT di lingkungan laut dan hampir sebagian besar terdeposisi dan menghasilkan variabilitas konsentrasi DDT dan derivativennya di sediment, (Ouyang et al 2003;Hartwell, 2008). berbagai sirkulasi air seperti aliran sungai dan arus pasang surut dapat mempengaruhi sebaran deposit yang dapat ditujukan oleh berbagai variasi komposisi ukuran sediment. Hal ini di sebabkan oleh fraksi halus sedimen umumnya memiliki residen time yang relatif lama di bandingkan dengan fraksi kasar seperti pasir. Dengan demikian fraksi halus merupakan komponen yang sangat penting dalam deposit DDT di perairan laut.
Teluk Jakarta merupakan teluk yang mengalir sebanyak 13 muara sungai dari wilayah urban yang sangat padat dan banyak terdapat aktivitas pertanian pada wilayah hulu. Dari hasil penelitian DDT, DDD, dan DDE telah teridentifikasi di berbagai wilayah di teluk Jakarta (Razak, 1991). Hal ini memberikan sesuatu indikasi bahwa residu DDT masih ada yang mungkin pernah dimanfaatkan. Keberadaan DDT sangat umum di temukan di lingkungan perairan termasuk sedimen. Seperti keberadaan DDT dan DDE di sedimen pesisir muara Citarum jelas mengidentifikasikan perubahan DDT pada masa diagenesa awal. Secara keseluruhan informasi diatas memberikan indikasi bahwa konsentrasi DDE lebih tinggi dari pada DDD yang berarti perubahan cenderung dalam kondisi aerobik.
Toksisitas (daya racun) DDT pada insektisida tergantung pada kemarnpuan penetrasi (menembusrke dalam membran lipid (lemak) (Martin, 1983: 130-132); semakin lipofil suatu senyawa, semakin mudah menembus membran lipid. Lipofilisitas dapat diketabui dengan menghitung harga koefisien partisi (Log P) dengan tetapan hidrofobik Rekker (f-Rekker) (Rekker, 1977 : 48, 112), yaitu dengan jalan menjumlahkanharga f-Rekker dari fragmen-fragmenstruktur kimia senyawa tersebut Beberapa turunan DDT yang bila dihitung harga Log P nya dengan tetapan hidrofobik Rekker diperoleh harga yang lebih rendah dari Log P DDT, terlihat bahwa harga LD50 nya (Lethal Dose 50 %) lebih tinggi (Kirk-Othmer, 1970 : 693), artinya dosis yang dapat menyebabkan kematian sebanyak 50 % dari jumlah binatang percobaan lebih tinggi, dengan demikian toks~sitasnyaberkurang. Haller ill (1945 : 1591-1602) mempublikasikan hasil pcnelitiannya tentang komposisi DDT teknis (garnbar 1) antara lain: para. para'-DDT (p,p'-DDT), ortho, para'-DDT (o,p'-DDT), para, para'-DDD (p,p'-DDD), ortho, para'-DDD (o,p'-DDD) yang beberapa diantaranya sebagai insektisida dan yang paling toksin adalah p,p'-DDT yang dikenal sebagai DDT. Tahun-tabun berikutnya timbul pertanyaan bagaimana efeknya terhadap manusia. Kemudian percobaan binatang mulai dikerjakan untuk mendapatkan data mengenai senyawa-senyawa hasil modifikasi struktur kimia DDT (turunan DDT) yang dapat berefek pada manusia. Hasil penelitian Klein ill (1965 : 2520-2522) dengan menggunakan tikus, dapat disimpulkan bahwa hanya p,p'-DDT yang dijumpai dalam hati, sedang o,p'-DDT dalarn jumlah relatif sangat kecil dibanding p,p'-DDT yang terdapat dalam lemak abdominal (perot). Sejak saat itu orang mempertanyakan kemungkinan DDTbersifat karsinogenik (penyebab kanker).
Modiflkasi struktur kimia yang dilakukan adalah mengganti gugus-gugus CI (klorida) dengan gugus-gugus lain sehingga lipof1lisitasnyaberkurang, dengan demikian apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan mudah dikeluarkan (di ekskresikan), misalnya melalui urine dan juga diharapkan senyawa ini mudah di metabolisme menjadi senyawa yang tidak toksis, untuk selanjutnyadi ekskresikan. Telah disintesis beberapa turunan DDT dengan mengganti gugus CI yang ada pada kedudukan X,Y,Rl,R2 dan R3 dengan CH3 (metal) Terlihat ada hubungan antara modifikasi struktur kimia dengan toksisitasnya,baik dengan dosis tunggal maupun dengan piperonilbutoksida (P.B) (Coats dkk, 1977 : 862). Semakin banyak gugus CI yang diganti dengan CH3,maka semakin besar harga LD50 nya yang berarti toksisitasnya berkurang. Efek turunan DDT pada insektisida diteliti pula oleh Kirk-Othmer (1970 :
693). Gugus-gugus yang diganti adalah yang terletak pada kedudukan X, Y dan Z
Penanggulangan Senyawa – Senyawa Organoklorin
Pemanfaatan limbah padat hasil olahan rumput laut dapat juga diarahkan guna pengendalian pencemaran dengan memanfaatakannya sebagai salah satu komponen pendukung bioremediasi lingkungan terutama untuk lahan pertanian yang terkontaminasi pestisida. Tentunya, selain limbah hasil olahan rumput laut dari spesies-spesies ekonomis, guna kepentingan bioremediasi jenis rumput laut lain dari jenis jenis yang kurang termanfaatkan dan kurang bernilai ekonomis seperti Calothria, Macrosystis, Oscillatoria dll dapat dijadikan bahan tersebut.
Bioremediasi Lingkungan Tercemar Pestisida
Dalam pengelolaannya, ketika pencemaran pestisida sudah terlanjur terjadi, alternatif pengolahan tanah terkontaminasi pestisida dapat dilakukan dengan pendekatan biologis (bioremediasi). Secara teknis perkembangan bioremediasi pestisida juga terkendala dengan kurang efektifnya agent biologis mendegradasi pestisida sebagai akibat dari ketersediaan biologis (bioavaibility) pestisida didalam tanah terbatas sehingga membatasi keberhasilan mikroba melakukan kontak dan mengurai pestisida target. Guna memperbaiki performa bioremediasi pestisida, keberhasilan proses yang berlangsung dapat tergantung pada :
a) ketersediaan mikroorganisme agen bioremediasi,
b) kondisi optimal bagi pertumbuhan dan aktifitas agen mikroba.
c) Peningkatan bioavaibilitas pestisida di tanah.
Mikroorganisme Agent
Jenis jenis mikroorganisme lain yang sudah banyak diidentifikasi sebagai agent bioremediasi pestisida adalah Phanerochaete, Nocardia, Pseudomonas, Alcaligenes, Acinetobacter, dan Burkholderia. Dalam riset riset bioremediasi pestisida Phanerochaete chrysosporium dikenal mampu mendegradasi ragam pestisida seperti DDT, DDE, PCB, Chlordane, Lindane, Aldrine, Dieldrine dan lain sebagainya. Kendatipun tidak selalu ditemui disetiap jenis tanah dan tempat (kayu atau pohon yang lembab), keberadaannya Phanerochaete chrysosporium telah banyak dilaporkan oleh peneliti mikrobiologi Indonesia.
Peningkatan Ketersediaan Biologis Pestisida di Tanah.
Peran rumput laut dan/atau limbah hasil olahan rumput laut dalam kajian bioremediasi pestisida adalah sebagai penyumbang ion Na+ yang ditenggarai dapat meningkatkan dispersi tanah, kedua adanya senyawa senyawa organik terlarut pada rumput laut dapat meningkatkan kelarutan dari pestisida sehingga lebih dapat terakses oleh agent mikroba dan terakhir adanya kandungan asam alginit dan manitol yang dapat berperan sebagai agen pengikat (chelating) serta penggembur tanah. Penambahan rumput laut ataupun limbah rumput laut dalam proses bioremediasi tanah terkontaminasi pestisida dapat merubah sifat dari tanah. Rumput Laut dapat membantu penurunan konsentrasi pestisida (e.g. DDT) melalui mekanisme pelepasan ion ion anorganik seperti Na+, Ca+, Mg+, dan K+ dan material organik terlarut yang keluar dari ekstrak rumput laut (Kantachote et al., 2004).
Pestisida biasanya terikat dengan ikatan ikatan kimia dengan senyawa humus (humic substances) terlarut sehingga bioavaibilitasnya menjadi rendah. Lebih lanjut, peningkatan kation (ion ion bermuatan positif, +) anorganik dapat menyebabkan peningkatan ikatan ion ion pada tanah yang menyebabkan cross-linking material material humus dengan pestisida tergantikan oleh kation kation tadi setelah didahului dengan kondensasi humus. Hal tersebut dapat meningkatkan ketersediaan DDT secara biologis dalam tanah untuk dapat termanfaatkan atau paling tidak terlibatkan didalam suatu reaksi dimana agen biologis mikroorganisme aktif.
Rumpu laut, terutama Alga Hijau memiliki kandungan karbohidrat dan manitol yang tinggi (chelating agents) yang akan dapat terikat dengan ion-ion anorganik pada tanah. Pengkelatan ini akan menggangu interaksi organo-mineral didalam tanah terkontaminasi. Peningkatan degradasi pestisida dapat terjadi secara aerobik (adanya oksigen) dan anerobik (tidak adanya oksigen). Rumput laut kaya akan karbohidrat yang dapat menguntungkan pertumbuhan bakteri anaerobik untuk dapat melangsungkan reaksi dechlorinasi guna menghilangkan unsur klor pada pestisida. Rumput laut juga memiliki kandungan vitamin B12 yang dapat mendukung deklorinasi tersebut secara anaerobik.
BAB III. METODE
Metode yang digunakan untuk mendegradasi dari pencemaran yang diakibatkan oleh peptisida organoklorin DDT yaitu dengan menggunakan biotranformasi biodegradasi yang meliputi :
a) Seeding
Mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik) dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous (bioaugmentasi)
b) Feeding
memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi (biostimulasi) dan aerasi (bioventing).
Pada pendegradasi pencemaran pada peptisida DDT dapat dilakukan dengan teknik bioremediasi :
1. Bioremediasi yang direkayasa
Bioremediasi yang berlangsungdengan adanya suatu rekayasa dari suatu keadaan sekitar
2. Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi intrinsik adalah bioremediasi yang berlangsung dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia karena kondisi lingkungan menunjang (nutrien tersedia) danmikroba yang berperanan dalam jumlah yang mencukupi (Anas, 1997).
Biostimulasi Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.
Bioaugmentasi Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat.
BAB IV. PEMBAHASAN
Lingkungan yang sudah tercemar oleh DDTakan sangat sulit dibersihkan, sebab sifat DDT sangat lipofil dan sangat stabil sehingga sukar diuraikan. Oleh karena itu diupayakan untuk mensintesa senyawa turunan yang mirip DDT, yaiui dengan jalan modif1kasistruktur. dengan harapan senyawa ini masih mempunyai aktivitas sebagai insektisida tetapi kurang lipofil sehingga diharapkan akan mudah terurai.
Saat bioremediasi terjadi, enzim” yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.
Pendekatan umum untuk meningkatkan kecepatan biotransformasi/ biodegradasi adalah dengan cara:
(i) seeding, mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik) dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous (bioaugmentasi)
(ii) feeding, memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi (biostimulasi) dan aerasi (bioventing).
Dalam penanganan pencemran dari peptisida organoklorin pada DDT dapat juga dialkuakan dengan bioremediasi intrinsik dan bioremediasi yang direkayasa. Yang semunya menggunakan dari jasa organisme yang memeilki karakteristik mampu mendegradasi dari peptisida yang terkait.
BAB V. KESIMPULAN
Pada proses pendegradasi suatu polutan dengan memilki jenis karakteristik dari polutan sukar didegradasi maka harus melakukan pengujian eksperimental terhadap kondisi yang tercemar dengan untuk mengetahui jenis bakteri maupun mikroorganisme yang mampu mendegradasi suatu polutan tersebut. Didalam proses bioremediasi suatu daerah yang tercemar oleh DDT maka dialkukan dengan bioremediasi secara intrinsic maupun secara rekayasa dengan menggunakan jasa suatu organisme yang mampu mendegradasi suatu peptisida tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Coats, Joel., et aI, 1977, Effective DDT Analogues with Altered Aliphatic Moites Isobutanes and Chloropropanes., l. Agric Food Chem,vol. 26, No.4.
HaIler, et aI., 1945. The Chemical Composition of Technical DDT, J Am Chem., vol. 67.
MUNAWIR, K. 1997. Kadar pestisida organoklorin di perairan Muara Sungai Kuala
Tungkal. Janhi. Dalam : D.P. PRASENO, W.S. ATMADJA, I. SUPANGAT,
RWITNO & B. S. SUDIBYO (eds.) Inventarisasi dun Evaluasi Potensi
Laut-Pesisir II. Geologi. Kinzia. Biologi dun Ekologi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 31-37.
Murty, A.S. 1985. Toxicity of Pesticides to Fish Volume I. Boca Raton, Florida : CRC Press, Inc.
Komisi Pestisida. 2006. Panduan Analisis Residu Pestisida pada Bahan Pertanian. Komisi Pestisida. Deptan.
RAZAK, H. dan K. MUNAWR 1994. Kadar pestisida organoklorin di perairan Teluk Jakarta. Dalam: H. P. HUTAGALUNG D. SETIAPERMANA & SULISTYO (eds.) Makalah Penunjang Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia:37-48.
Latar Belakang
Ditinjau dari struktur kimia, pestisida sangat bervariasi. Insektisida terdiri dari empat golongan utama yaitu golongan organoklorin, organofosfat, karbamat dan peretroid. Pestisida merupakan bahan kimia yang umum digunakan pada aktivitas pertanian untuk mengendalikan hama/serangga pengganggu tanaman. Penggunaan pestisida di Indonesia meningkat sangat cepat karena adanya ekspansi daerah pertanian untuk tanaman pangan dan sayuran. Salah satu jenis insektisida yang umum digunakan di Indonesia adalah golongan organoklorin (Tarumingkeng, 1992).
Organoklorin merupakan jenis insektisida yang umum digunakan di Indonesia sejak awal tahun 1950 untuk mengendalikan hama/serangga pada pertanian. Sejak akhir 1990, semua jenis insektisida organoklorin sudah dilarang penggunaannya di Indonesia karena sifatnya yang toksik, bioakumulatif, dan persisten di lingkungan. Namun karena harganya yang murah, mudah digunakan, dan efektif membasmi hama, beberapa jenis insektisida organoklorin masih digunakan di Indonesia. BUTTLER (1966) melaporkan bahwa DDT dalam 10 hari dapat mencapai kadar sebesar 25.000 kali lebih tinggi dalam tubuh biota dibandingkan kadarnya dalamair laut. Selainitupembesaran secarabiologi ini juga tergantung dari temperatur. lamanya waktu pemaparan dalam tubuh organisme, pembesaran secara biologi ini dapat mencapai 70.000 kali lebih besar.
Organoklorin dikelompokkan menjadi 3, yaitu : diklorodifenil etan (contoh : DDT, DDD, portan, metosiklor, dan metioklor), siklodin (contoh : aldrin, dieldrin, heptaklor, klordan, dan endosulfan), dan sikloheksan benzene terklorinasi (contoh : HCB, HCH, dan lindan). Organoklorin merupakan pencemar utama dalam golongan Persistent Organic Pollutant yang sedang dipermasalahkan di dunia akibat sifatnya yang toksik kronis, persisten dan bioakumulatif (Zhou et al., 2006). Dalam jangka waktu 40 tahun, organoklorin masih ditemukan di lingkungan dan biota, dan terdistribusi secara global bahkan ke daerah terpencil di mana organoklorin tidak pernah digunakan (Sudaryanto et al., 2007). Sejak akhir 1990, semua jenis insektisida organoklorin sudah dilarang penggunaannya di Indonesia. Namun karena harganya yang murah, mudah digunakan, dan efektif membasmi hama, maka beberapa jenis organoklorin seperti DDT masih digunakan di Indonesia, selain karena kurangnya ketegasan peraturan dan hukum yang berlaku (Sudaryanto et al., 2007).
Pestisida dan produk metabolismenya menjadi ancamam bagi lingkungan karena karakteristik ketetaptinggalan yang tinggi (persistent) dan kesehatan manusia terkait toksisitas, keterakumulasian (bioaccumulation) dan peningkatan konsentrasi seiring kenaikan tingkatan rantai makanan (biomagnifications).
Perumusan Masalah
Secara teknis perkembangan bioremediasi pestisida juga terkendala dengan kurang efektifnya agent biologis mendegradasi pestisida sebagai akibat dari ketersediaan biologis (bioavaibility) pestisida didalam tanah terbatas sehingga membatasi keberhasilan mikroba melakukan kontak dan mengurai pestisida target. Guna memperbaiki performa bioremediasi pestisida, keberhasilan proses yang berlangsung dapat tergantung pada :
1. ketersediaan mikroorganisme agen bioremediasi,
2. kondisi optimal bagi pertumbuhan dan aktifitas agen mikroba.dan
3. Peningkatan bioavaibilitas pestisida di tanah.
Jenis jenis mikroorganisme yang sudah banyak diidentifikasi sebagai agent bioremediasi pestisida adalah Phanerochaete, Nocardia, Pseudomonas, Alcaligenes, Acinetobacter, dan Burkholderia. Dalam riset riset bioremediasi pestisida Phanerochaete chrysosporium dikenal mampu mendegradasi ragam pestisida seperti DDT, DDE, PCP, Chlordane, Lindane, Aldrine, Dieldrine dan lain sebagainya.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Pencemaran Laut
Belakangan kita sering membaca kejadian pencemaran laut. Berbagai pihak mengeluhkan salah satu ancaman terhadap lingkungan ini. Beberapa menyalahkan industri besar yang kurang peduli, lainnya menyebutkan hanya kesalahan prosedur, lainnya beranggapan semua punya potensi untuk mencemari laut. Berikut lebih jauh dibahas tentang seluk beluk pencemaran laut.
Pencemaran laut didefinisikan sebagai peristiwa masuknya partikel kimia, limbah industri, pertanian dan perumahan, kebisingan, atau penyebaran organisme invasif (asing) ke dalam laut, yang berpotensi memberi efek berbahaya. Kemudian ada definisi pencemaran yaitu, Pencemaran atau polusi didefenisikan sebagai masuknya zat-zat atau energi ke dalam lingkungan laut baik langsung maupun tidak langsung akibat adanya kegiatan manusia. Hal ini dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut, terutama kehidupan di laut, kesehatan manusia, mengganggu aktivitas di laut (usaha penangkapan, budidaya, jalur pelayaran, dan sebagainya), dan secara visual mereduksi keindahan laut (GESAMP dalam Sanusi, 1995).
Pencemaran Organoklorin di Laut
Pestisida Organoklorin atau biasa disebut juga sebagai hidrokarbon berklorin, merupakan jenis pestisida yang tidak mudah larut dalam air, namun mudah larut dalam minyak. Pestisida organoklorin merupakan jenis pestisida yang tidak mudah terurai di alam setelah digunakan, penggunaan pestisida organoklorin telah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1971 karena sifatnya yang persisten sehingga akan dapat menimbulkan dampak negative yang besar tehadap lingkungan dan mahluk hidup sekitarnya.
Contoh pestisida organoklorin yang sering digunakan dalam kehidupan;
• Aldrin
• Dieldrin dicofol
• Endosulfan
• Endrin chlordane
• DDT
• Heptaklor
• Lindane
• Benzane hexacloride (BHC)
Contoh di atas dapat digolongkan sebagai senyawa aktif yang terkandung pada jenis-jenis pestisida organoklorin dengan toksisitas yang berbeda. Sedangkan sifat umumnya adalah kelarutan rendah dalam air, lipofilitas tinggi, persisten dalam lingkungan alamiah, terbioakumulasi dalam makhluk hidup dan terbiomagnifikasi melalui rantai makanan.
Bahan Pencemar Senyawa Organoklorin Jenis DDT
DDT (1,1,1- Tricloro-2,2-bis(clhorophenil)etane) merupakan insektisida sintetis khususnya dibidang pertanian. Sifatnya yang sangat berbahaya di lingkungan dan tahan lama di alam, maka senyawa ini di larang penggunaaannya. Tetapi penggunaannya masih terbatas hanya sebagai obat untuk nyamuk malaria diberbagai negara. DDT dapat mencapai ekosistem pesisir laut melalai berbagai rute seperti penggunaan secara langsung di permukaan air, kemudian secara tidak langsung melalui proses deposisi udara dari proses penguapan atau penguapan yang sudah mengendap di tanah, tanaman dan permukaan air, (Preston 1989). Disamping itu sifat - sifat fisika dan kimia seperti daya larut yang rendah dalam air menyebabkan senyawa DDT mudah terikat dalam sedimen dasar dan terakumulasi dalam jaringan organisme.
Transportasi materi merupakan faktor penting keberadaan DDT di lingkungan laut dan hampir sebagian besar terdeposisi dan menghasilkan variabilitas konsentrasi DDT dan derivativennya di sediment, (Ouyang et al 2003;Hartwell, 2008). berbagai sirkulasi air seperti aliran sungai dan arus pasang surut dapat mempengaruhi sebaran deposit yang dapat ditujukan oleh berbagai variasi komposisi ukuran sediment. Hal ini di sebabkan oleh fraksi halus sedimen umumnya memiliki residen time yang relatif lama di bandingkan dengan fraksi kasar seperti pasir. Dengan demikian fraksi halus merupakan komponen yang sangat penting dalam deposit DDT di perairan laut.
Teluk Jakarta merupakan teluk yang mengalir sebanyak 13 muara sungai dari wilayah urban yang sangat padat dan banyak terdapat aktivitas pertanian pada wilayah hulu. Dari hasil penelitian DDT, DDD, dan DDE telah teridentifikasi di berbagai wilayah di teluk Jakarta (Razak, 1991). Hal ini memberikan sesuatu indikasi bahwa residu DDT masih ada yang mungkin pernah dimanfaatkan. Keberadaan DDT sangat umum di temukan di lingkungan perairan termasuk sedimen. Seperti keberadaan DDT dan DDE di sedimen pesisir muara Citarum jelas mengidentifikasikan perubahan DDT pada masa diagenesa awal. Secara keseluruhan informasi diatas memberikan indikasi bahwa konsentrasi DDE lebih tinggi dari pada DDD yang berarti perubahan cenderung dalam kondisi aerobik.
Toksisitas (daya racun) DDT pada insektisida tergantung pada kemarnpuan penetrasi (menembusrke dalam membran lipid (lemak) (Martin, 1983: 130-132); semakin lipofil suatu senyawa, semakin mudah menembus membran lipid. Lipofilisitas dapat diketabui dengan menghitung harga koefisien partisi (Log P) dengan tetapan hidrofobik Rekker (f-Rekker) (Rekker, 1977 : 48, 112), yaitu dengan jalan menjumlahkanharga f-Rekker dari fragmen-fragmenstruktur kimia senyawa tersebut Beberapa turunan DDT yang bila dihitung harga Log P nya dengan tetapan hidrofobik Rekker diperoleh harga yang lebih rendah dari Log P DDT, terlihat bahwa harga LD50 nya (Lethal Dose 50 %) lebih tinggi (Kirk-Othmer, 1970 : 693), artinya dosis yang dapat menyebabkan kematian sebanyak 50 % dari jumlah binatang percobaan lebih tinggi, dengan demikian toks~sitasnyaberkurang. Haller ill (1945 : 1591-1602) mempublikasikan hasil pcnelitiannya tentang komposisi DDT teknis (garnbar 1) antara lain: para. para'-DDT (p,p'-DDT), ortho, para'-DDT (o,p'-DDT), para, para'-DDD (p,p'-DDD), ortho, para'-DDD (o,p'-DDD) yang beberapa diantaranya sebagai insektisida dan yang paling toksin adalah p,p'-DDT yang dikenal sebagai DDT. Tahun-tabun berikutnya timbul pertanyaan bagaimana efeknya terhadap manusia. Kemudian percobaan binatang mulai dikerjakan untuk mendapatkan data mengenai senyawa-senyawa hasil modifikasi struktur kimia DDT (turunan DDT) yang dapat berefek pada manusia. Hasil penelitian Klein ill (1965 : 2520-2522) dengan menggunakan tikus, dapat disimpulkan bahwa hanya p,p'-DDT yang dijumpai dalam hati, sedang o,p'-DDT dalarn jumlah relatif sangat kecil dibanding p,p'-DDT yang terdapat dalam lemak abdominal (perot). Sejak saat itu orang mempertanyakan kemungkinan DDTbersifat karsinogenik (penyebab kanker).
Modiflkasi struktur kimia yang dilakukan adalah mengganti gugus-gugus CI (klorida) dengan gugus-gugus lain sehingga lipof1lisitasnyaberkurang, dengan demikian apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan mudah dikeluarkan (di ekskresikan), misalnya melalui urine dan juga diharapkan senyawa ini mudah di metabolisme menjadi senyawa yang tidak toksis, untuk selanjutnyadi ekskresikan. Telah disintesis beberapa turunan DDT dengan mengganti gugus CI yang ada pada kedudukan X,Y,Rl,R2 dan R3 dengan CH3 (metal) Terlihat ada hubungan antara modifikasi struktur kimia dengan toksisitasnya,baik dengan dosis tunggal maupun dengan piperonilbutoksida (P.B) (Coats dkk, 1977 : 862). Semakin banyak gugus CI yang diganti dengan CH3,maka semakin besar harga LD50 nya yang berarti toksisitasnya berkurang. Efek turunan DDT pada insektisida diteliti pula oleh Kirk-Othmer (1970 :
693). Gugus-gugus yang diganti adalah yang terletak pada kedudukan X, Y dan Z
Penanggulangan Senyawa – Senyawa Organoklorin
Pemanfaatan limbah padat hasil olahan rumput laut dapat juga diarahkan guna pengendalian pencemaran dengan memanfaatakannya sebagai salah satu komponen pendukung bioremediasi lingkungan terutama untuk lahan pertanian yang terkontaminasi pestisida. Tentunya, selain limbah hasil olahan rumput laut dari spesies-spesies ekonomis, guna kepentingan bioremediasi jenis rumput laut lain dari jenis jenis yang kurang termanfaatkan dan kurang bernilai ekonomis seperti Calothria, Macrosystis, Oscillatoria dll dapat dijadikan bahan tersebut.
Bioremediasi Lingkungan Tercemar Pestisida
Dalam pengelolaannya, ketika pencemaran pestisida sudah terlanjur terjadi, alternatif pengolahan tanah terkontaminasi pestisida dapat dilakukan dengan pendekatan biologis (bioremediasi). Secara teknis perkembangan bioremediasi pestisida juga terkendala dengan kurang efektifnya agent biologis mendegradasi pestisida sebagai akibat dari ketersediaan biologis (bioavaibility) pestisida didalam tanah terbatas sehingga membatasi keberhasilan mikroba melakukan kontak dan mengurai pestisida target. Guna memperbaiki performa bioremediasi pestisida, keberhasilan proses yang berlangsung dapat tergantung pada :
a) ketersediaan mikroorganisme agen bioremediasi,
b) kondisi optimal bagi pertumbuhan dan aktifitas agen mikroba.
c) Peningkatan bioavaibilitas pestisida di tanah.
Mikroorganisme Agent
Jenis jenis mikroorganisme lain yang sudah banyak diidentifikasi sebagai agent bioremediasi pestisida adalah Phanerochaete, Nocardia, Pseudomonas, Alcaligenes, Acinetobacter, dan Burkholderia. Dalam riset riset bioremediasi pestisida Phanerochaete chrysosporium dikenal mampu mendegradasi ragam pestisida seperti DDT, DDE, PCB, Chlordane, Lindane, Aldrine, Dieldrine dan lain sebagainya. Kendatipun tidak selalu ditemui disetiap jenis tanah dan tempat (kayu atau pohon yang lembab), keberadaannya Phanerochaete chrysosporium telah banyak dilaporkan oleh peneliti mikrobiologi Indonesia.
Peningkatan Ketersediaan Biologis Pestisida di Tanah.
Peran rumput laut dan/atau limbah hasil olahan rumput laut dalam kajian bioremediasi pestisida adalah sebagai penyumbang ion Na+ yang ditenggarai dapat meningkatkan dispersi tanah, kedua adanya senyawa senyawa organik terlarut pada rumput laut dapat meningkatkan kelarutan dari pestisida sehingga lebih dapat terakses oleh agent mikroba dan terakhir adanya kandungan asam alginit dan manitol yang dapat berperan sebagai agen pengikat (chelating) serta penggembur tanah. Penambahan rumput laut ataupun limbah rumput laut dalam proses bioremediasi tanah terkontaminasi pestisida dapat merubah sifat dari tanah. Rumput Laut dapat membantu penurunan konsentrasi pestisida (e.g. DDT) melalui mekanisme pelepasan ion ion anorganik seperti Na+, Ca+, Mg+, dan K+ dan material organik terlarut yang keluar dari ekstrak rumput laut (Kantachote et al., 2004).
Pestisida biasanya terikat dengan ikatan ikatan kimia dengan senyawa humus (humic substances) terlarut sehingga bioavaibilitasnya menjadi rendah. Lebih lanjut, peningkatan kation (ion ion bermuatan positif, +) anorganik dapat menyebabkan peningkatan ikatan ion ion pada tanah yang menyebabkan cross-linking material material humus dengan pestisida tergantikan oleh kation kation tadi setelah didahului dengan kondensasi humus. Hal tersebut dapat meningkatkan ketersediaan DDT secara biologis dalam tanah untuk dapat termanfaatkan atau paling tidak terlibatkan didalam suatu reaksi dimana agen biologis mikroorganisme aktif.
Rumpu laut, terutama Alga Hijau memiliki kandungan karbohidrat dan manitol yang tinggi (chelating agents) yang akan dapat terikat dengan ion-ion anorganik pada tanah. Pengkelatan ini akan menggangu interaksi organo-mineral didalam tanah terkontaminasi. Peningkatan degradasi pestisida dapat terjadi secara aerobik (adanya oksigen) dan anerobik (tidak adanya oksigen). Rumput laut kaya akan karbohidrat yang dapat menguntungkan pertumbuhan bakteri anaerobik untuk dapat melangsungkan reaksi dechlorinasi guna menghilangkan unsur klor pada pestisida. Rumput laut juga memiliki kandungan vitamin B12 yang dapat mendukung deklorinasi tersebut secara anaerobik.
BAB III. METODE
Metode yang digunakan untuk mendegradasi dari pencemaran yang diakibatkan oleh peptisida organoklorin DDT yaitu dengan menggunakan biotranformasi biodegradasi yang meliputi :
a) Seeding
Mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik) dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous (bioaugmentasi)
b) Feeding
memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi (biostimulasi) dan aerasi (bioventing).
Pada pendegradasi pencemaran pada peptisida DDT dapat dilakukan dengan teknik bioremediasi :
1. Bioremediasi yang direkayasa
Bioremediasi yang berlangsungdengan adanya suatu rekayasa dari suatu keadaan sekitar
2. Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi intrinsik adalah bioremediasi yang berlangsung dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia karena kondisi lingkungan menunjang (nutrien tersedia) danmikroba yang berperanan dalam jumlah yang mencukupi (Anas, 1997).
Biostimulasi Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.
Bioaugmentasi Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat.
BAB IV. PEMBAHASAN
Lingkungan yang sudah tercemar oleh DDTakan sangat sulit dibersihkan, sebab sifat DDT sangat lipofil dan sangat stabil sehingga sukar diuraikan. Oleh karena itu diupayakan untuk mensintesa senyawa turunan yang mirip DDT, yaiui dengan jalan modif1kasistruktur. dengan harapan senyawa ini masih mempunyai aktivitas sebagai insektisida tetapi kurang lipofil sehingga diharapkan akan mudah terurai.
Saat bioremediasi terjadi, enzim” yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.
Pendekatan umum untuk meningkatkan kecepatan biotransformasi/ biodegradasi adalah dengan cara:
(i) seeding, mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik) dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous (bioaugmentasi)
(ii) feeding, memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi (biostimulasi) dan aerasi (bioventing).
Dalam penanganan pencemran dari peptisida organoklorin pada DDT dapat juga dialkuakan dengan bioremediasi intrinsik dan bioremediasi yang direkayasa. Yang semunya menggunakan dari jasa organisme yang memeilki karakteristik mampu mendegradasi dari peptisida yang terkait.
BAB V. KESIMPULAN
Pada proses pendegradasi suatu polutan dengan memilki jenis karakteristik dari polutan sukar didegradasi maka harus melakukan pengujian eksperimental terhadap kondisi yang tercemar dengan untuk mengetahui jenis bakteri maupun mikroorganisme yang mampu mendegradasi suatu polutan tersebut. Didalam proses bioremediasi suatu daerah yang tercemar oleh DDT maka dialkukan dengan bioremediasi secara intrinsic maupun secara rekayasa dengan menggunakan jasa suatu organisme yang mampu mendegradasi suatu peptisida tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Coats, Joel., et aI, 1977, Effective DDT Analogues with Altered Aliphatic Moites Isobutanes and Chloropropanes., l. Agric Food Chem,vol. 26, No.4.
HaIler, et aI., 1945. The Chemical Composition of Technical DDT, J Am Chem., vol. 67.
MUNAWIR, K. 1997. Kadar pestisida organoklorin di perairan Muara Sungai Kuala
Tungkal. Janhi. Dalam : D.P. PRASENO, W.S. ATMADJA, I. SUPANGAT,
RWITNO & B. S. SUDIBYO (eds.) Inventarisasi dun Evaluasi Potensi
Laut-Pesisir II. Geologi. Kinzia. Biologi dun Ekologi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 31-37.
Murty, A.S. 1985. Toxicity of Pesticides to Fish Volume I. Boca Raton, Florida : CRC Press, Inc.
Komisi Pestisida. 2006. Panduan Analisis Residu Pestisida pada Bahan Pertanian. Komisi Pestisida. Deptan.
RAZAK, H. dan K. MUNAWR 1994. Kadar pestisida organoklorin di perairan Teluk Jakarta. Dalam: H. P. HUTAGALUNG D. SETIAPERMANA & SULISTYO (eds.) Makalah Penunjang Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia:37-48.
Langganan:
Postingan (Atom)